ALLOH SWT TURUN KE-1
Moch Djamhar Abdul Karim :
=================
*MAKRIFAT*
*ALLOH SWT TURUN*
=================
Seri Kesatu
"Banyak dalam Bahasan Aqidah Umat Memakai Pemahaman Zhohiri terutama pada ayat-ayat or lafadz Mutasyabihat, maka itu perlu Penjelasan lebih lanjut sbb :
1. Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya ia berkata, saya telah membacakan kepada Malik dari Ibnu Syihab dari Abu Abdullah Al Agharr dan dari Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda : *"Rabb Tabaraka wa Ta'la turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, 'Siapa yang berdo'a kepadaKu niscaya akan Aku kabulkan dan siapa yang meminta kepadaKu niscaya akan Aku berikan dan siapa yang memohon ampun kepadaKu, niscaya akan Aku ampuni.”* (HR Muslim 1261).
2. Imam Malik bin Anas Rohimahulloh menanggapi hadits : *”Allah turun disetiap sepertiga malam” adalah, yanzilu amrihi (turunnya perintah dan rahmat Allah) pada setiap sepertiga malam adapun Allah Azza wa Jalla adalah tetap tidak bergeser dan tidak berpindah, maha suci Allah yang tiada tuhan selainNya"*.
3. Maksudnya bukan secara makna yang zhohir Allah itu ke langit yang terdekat dengan bumi, karena justru hadits ini merupakan satu dalil yang menjawab orang yang mengatakan bahwa Allah Swt itu ada di satu tempat atau ada di Arsy.
4. Adapun yang dimaksud adalah Allah itu senang semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat kepada hamba hamba Nya disaat sepertiga malam terakhir semakin dekat Kasih Sayang Allah SWT.
5. Allah SWT itu dekat tanpa sentuhan dan jauh tanpa jarak. Berbeda dengan makhluk, kalau dekat mesti ada sentuhan dan kalau jauh mesti adajarak. *“Allah laysa kamitslihi syai’un, Allah tidak sama dengan segala sesuatu"*, QS Assyura 11).
Allah SWT turun mendekat kepada hambaNya di sepertiga malam terakhir maksudnya Allah membukakan kesempatan terbesar bagi hamba hambaNya di sepertiga malam terakhir.
6. Sepertiga malam terakhir kira kira pukul 2 lebih dinihari, kalau malam dibagi 3, sepertiga malam terakhir kira-kira pukul 2 lebih, sampai sebelum adzan subuh itu sepertiga malam terakhir, waktu terbaik untuk berdoa dan bertahajjud.
7. Disaat saat itu kebanyakan para kekasih lupa dengan kekasihnya. Allah menanti para kekasih Nya. Sang Maha Raja langit dan bumi Yang Maha Berkasih Sayang menanti hamba hamba yang merindukan Nya, yang mau memisahkan ranjangnya dan tidurnya demi sujudnya Kehadirat Allah Yang Maha Abadi. Mengorbankan waktu istirahatnya beberapa menit untuk menjadikan bukti cinta dan rindunya kepada Allah SWT.
8. Para ulama ahlus sunnah wal jamaah pada umumnya bukannya menolak sebagian sifat-sifat Allah SWT, tetapi menghindari dari mengi’tiqodkan dengan makna dzahir
9. Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad : *“Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri, Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.*
10. Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan : *“Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad, ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”*
11. Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib R.A. berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”, Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?” Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : *“Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda (makhlukNya) dan anggota-anggota badan.”*
12. Syeikh Al Akhthol dalam Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin menuliskan bahwa : *"Mereka yang mengi’tiqodkan Allah ta’ala mempunyai tangan tetapi tidak serupa dengan tangan makhlukNya atau Allah ta’ala turun sebagaimana yang dikehendakiNya dan tidak serupa dengan turun makhlukNya , maka orang tersebut hukumnya “‘Aashin” atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah SWT"*.
13. Sayyid Muhammad bin Alwi Maliki dalam Kitabnya Bernama Wahuwa Bil Ufuqil A'la
mengatakan : *"Walaupun dalam kisah mi’raj yang didengar terdapat keterangan mengenai naik-turunnya Rasulullah S.A.W., seorang muslim tidak boleh menyangka bahwa antara hamba dan Tuhannya terdapat jarak tertentu, karena hal itu termasuk perbuatan kufur. Na’udzu billah min dzalik. Naik dan turun itu hanya dinisbahkan kepada hamba, bukan kepada Tuhan. Meskipun Nabi S.A.W. pada malam Isra’ sampai pada jarak dua busur atau lebih pendek lagi dari itu, tetapi beliau tidak melewati maqam ubudiyah (kedudukan sebagai seorang hamba). Ketahuilah bahwa bolak-baliknya Nabi Muhammad S.A.W. antara Nabi Musa A.S. dengan Allah SWT pada malam yang diberkahi itu tidak berarti adanya arah bagi Allah SWT. Mahasuci Allah dari hal itu dengan sesuci-sucinya. Ucapan Nabi Musa A.S. kepada beliau, “Kembalilah kepada Tuhanmu,” artinya: “kembalilah ke tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Maka kembalinya Beliau adalah dari tempat Beliau berjumpa dengan Nabi Musa A.S. ke tempat beliau bermunajat dan bermohon kepada Tuhannya. Tempat memohon tidak berarti bahwa yang diminta ada di tempat itu atau menempati tempat itu karena Allah SWT suci dari arah dan tempat. Maka kembalinya Nabi Muhammad S.A.W. kepadaNya adalah kembali Beliau meminta di tempat itu karena mulianya tempat itu dibandingkan dengan yang lain. Sebagaimana lembah Thursina adalah tempat permohonan Nabi Musa A.S. di bumi"*.
14. Kesepakatan Ulama Tauhid : *"Allah ta’ala tidak bertempat di suatu tempat dan tidak juga bertempat di mana mana. Maha suci Allah dari “dimana” dan “bagaimana”*.
15. Sayyidina Ali ra mengatakan yang maknanya : *“Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya dimana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“*.
16. Imam al Qusyairi didalam kitabnya mengatakan : *”Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerih payah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya, atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.*
17. Allah Azza wa Jalla, ada sebagaimana awalnya, sebagaimana akhirnya, sebagaimana sebelum diciptakan ‘Arsy, sebagaimana sebelum diciptakan langit, sebagaimana sebelum diciptakan ciptaanNya. Dia tidak berubah, tidak berpindah, tidak berbentuk, tidak berbatas, tidak ada yang menyerupaiNya. Dia dekat tidak bersentuh dan Dia jauh tidak berjarak maupun tidak berarah.
18. Imam Syafi’i rahimahullah menjelaskan :
إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان ولا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته (إتحاف السادة المتقين بشرح إحياء علوم الدين, ج 2، ص 24)
*“Sesungguhnya Allah SWT ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Kemudian Dia menciptakan tempat, dan Dia tetap dengan sifat-sifat-Nya yang Azali sebelum Dia menciptakan tempat tanpa tempat. Tidak boleh bagi-Nya berubah (berpindah), baik pada Dzat maupun pada sifat-sifat-Nya”*.
19. Imam Abu Hanifah dalam Kitab Al Washiyyah menuliskan :
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.
*“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung”*.
20. Imam Abu Hanifah dalam Fiqh Al Absath menuliskan :
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.
*"Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu”*.
Lanjut... Seri Kedua.
Komentar